Sunday, June 21, 2015

Mimpi yang Terwujud di Kilimanjaro



Sinyal seluler Tigo Tanzania yang kami gunakan saat melintasi Rongai Route sama sekali tidak muncul. Rongai Route adalah salah satu rute awal pendakian menuju Gunung Kilimanjaro selain rute lain yakni Maceme, Marangu, Lemosho, Umbwe, Shira dan lainnya. Kilimanjaro diambil dari bahasa Swahili yang mendiami gunung tersebut, Kilima yang berarti gunung dan Njaro yang berarti bercahaya. Kilimanjaro juga disebut dengan Kilima Dscharo atau Oldoinyo Oibor yag berarti gunung putih dalam bahasa suku Masaii.
Bagi kami, Rongai Route adalah sebuah tantangan. Sepengetahuan kami kami belum ada tim pendaki Indonesia yang melalui rute ini untuk mendaki gunung Kilimanjaro. Jalur ini memerlukan waktu tempuh selama 7 hari, lebih lama jika dibanding rute lain yang rata-rata memakan waktu rata-rata 5 hari perjalanan.

Hari Pertama: 15 Juni 2014

Menggunakan operator pendakian bernama Climbing Kilimanjaro, empat orang dari kami yang tergabung dalam Kepri Kilimanjaro Expedition memulai perjalanan dari Sal Salinero Hotel yang berada di Kota Moshi Provinsi Kilimanjaro. Dipandu pemandu utama bernama Harun dan dua asistennya bernama James dan Erasto, kami mulai berangkat sekitar pukul 10.00 pagi waktu Tanzania atau pukul 14.00 WIB. Tujuan pertama kami adalah Marangu Office. Ini adalah tujuan wajib mengingat setiap pendaki harus melakukan registrasi, membubuhkan tanda tangan dan melakukan kepengurusan asuransi sebelum kemudian melakukan petualangan hingga puncak.
Marangu Office adalah salah satu titik awal pendakian. Di tempat ini terlihat begitu banyak pendaki dari berbagai penjuru dunia. Usia mereka beragam. Sama halnya dengan warna kulit. Dari sini, kami melanjutkan perjalanan menuju Rongai, melewati perkampungan khas Afrika. Di perjalanan nampak sekolompok warga setempat berjalan mengenakan pakaian mencolok. Sepertinya mereka baru saja kembali setelah melaksanakan kebaktian di Gereja.
Tiga jam berjalan, kami akhirnya tiba di Rongai. Di pos, ada seorang pria berpakaian layaknya pemberontak Afrika yang sering terlihat di film-film Hollywood. Wajahnya tidak begitu ramah. Dia, petugas polisi kehutanan setempat yang sedang bertugas ini lantas memeriksa semua peralatan yang kami bawa. Tidak hanya diperiksa, ia bahkan menempatkan barang bawaan kami ke sebuah neraca.
Sekitar 20 menit ia melakukan itu: membuka tas, memeriksa barang satu per satu dan memasukkannya lagi untuk diukur beratnya di timbangan. Saat proses itu berlangsung, di lokasi yang sama tiba sepasang pendaki dari Jerman.
“Okey!” kata petugas itu, memberi tanda jika kami diizinkan untuk kembali melanjutkan perjalanan. Kami kemudian berdoa dipimpin Berry Bachtiar. Dia ketua tim ekspedisi.
Pukul 15.30, kami kembali melanjutkan perjalanan, melewati perkebunan pinus dan kentang milik masyarakat setempat. Di selular saya melihat sinyal Safaricom. Menurut James, itu adalah salah satu operator milik Kenya. Ternyata desa ini bersebelahan wilayah dengan Jumhuriye Kenya yang terletak di kawasan Afrika Timur.
Satu jam perjalanan, kami kemudian berjumpa sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani. Di sini udara tersa sangat dingin.
“Welcome Kilimanjaro. Janbo (hei) Kilimanjaro ,” teriak salah seorang warga yang kami temui. Ia mengucap itu dengan senyum. Wajahnya ramah.
Tiga jam kemudian, kami tiba di Simba Camp, Pos 1 jalur menuju Kilimanjaro. Rona merah senja membias di langit dari matahari yang bersembunyi di balik bukit. Perjalanan tak bisa dilanjutkan lagi. Kami memilih bermalam, memasang tiga tenda dan “bersembunyi” di dalamnya. Semakin malam, dingin semakin kuat.

Hari Kedua: 16 Juni 2014

Kamis sudah bangun pukul 6.30. Udara dingin terasa menggigit tulang. Di luar tenda nampak cahaya mentari menyeruak menimbulkan rasa hangat. Dari sini kami menampak jelas puncak Kilimanjaro yang tertutup salju.
Setelah sarapan sekitar pukul 8.00, kami kembali memulai pendakian. Tujuan berikutnya adalah Cave Two Camp yang diperkirakan akan tiba di sana ketika istirahat makan siang. Perjalanan mulai terasa berat dikarenakan rute yang dilalui begitu terjal. Di samping kanan dan kiri terdapat berbagai vegetasi khas Kilimanjaro.
Selain itu beberapa kali kami menemui kelompok jejak kaki hewan berkaki empat. Menurut Harun, itu adalah jejak Kilimanjaro buffalo. Di balik jejak itu katanya terdapat sebuah ancaman yang bisa saja membahayakan kami.
“Diantara rombongan banteng biasanya diikuti cheetah. Daerah ini berbahaya. Kita harus cepat naik,” kata Harun memberi peringatan.
Karuan peringatan ini membuat kami, khususnya saya, merasa sedikit cemas. Terbayang jika tiba-tiba pelari tercepat berupa kucing berbulu bintik muncul dan menyerang. Kami kemudian melangkahkan kaki lebih cepat dari sebelumnya. Lima jam melalui jalur terjal, kami akhirnya tiba di Cave Two Camp. Saya merasa lega.
Sesuai namanya, cave adalah sebuah goa yang menurut Erasto biasanya digunakan untuk berlindung di saat terjadi avalance atau longsor salju yang biasanya terjadi pada bulan November dan Desember. Saat itu kami memilih beristirahat sambil makan siang di luar goa yang hangat.
Goa ini memiliki keunikan. Ini diketahui setelah saya melaksanakan salat zuhur di dalamnya. Udara di dalam sangat berbeda dengan yang ada di luar. Drop. Suhu langsung berubah sangat dingin.
Satu jam kemudian kami melanjutkan perjalanan. Di sini jalur yang dilalui semakin terjal. Saya dan seorang anggota tim lainnya bernama Aris mengalami masalah pada engkel kaki. Tapi masalah itu teratasi dengan adanya semangat dari anggota tim lainnya. Semangat itu membuat kami kuat.
Dua jam berjalan, terdapat perubahan pemandangan dari vegetasi ke bebatuan. Di sini kami menemui susunan beraneka batu besar yang sangat indah disebut Ignous Rocks. Panjangnya diperkirakan lebih dari 1 km.
Pukul jam 4.50 kami sampai di Third Cave Camp. Di sini kami mendirikan tenda sepanjang hampir 50 meter di udara terbuka. Sebelumnya muncul tanda tanya kenapa mendirikan camp di atas goa, tidak berdekatan dengan goa karena akan terlindungi angin gunung yang sangat dingin?
Erasto menjawab, di malam hari goa di Third Cava Camp akan digunakan rombongan banteng Kilimanjaro untuk berlindung dan beristirahat. Merujuk apa yang dijelaskan Harun sebelumnya, rombongan banteng ini akan diikuti oleh cheetah, singa dan berbagai binatang karnivora.
“Di dalam goa sangat membahayakan bagi kita semua. Bisa-bisa kita jadi santapan hewan karnivora itu,” kata Erasto.
Menyeramkan. Udara yang dingin membuat saya tertidur. Beberapa kali saya terbangun ketika terdengar langkah kecil di luar tenda. Saya tidak berani memastikan apa yang melintas setelah mengingat-ngingat apa yang diceritakan Erasto sebelumnya.

Hari Ketiga 17 Juni 2014
Third cave Camp jam 5.50 telah bangun terlihat sunrise yang indah, keluar perlahan dari peraduan. Cuaca yang menusuk tulang tapi disirami oleh sang surya dipagi hari membuat kami semangat kami tumbuh kembali. Third cave Camp ini setelah dicek dengan altimeter berketinggian 3954 M Dpal.
Kami memulai perjalanan pada jam 8.00 pagi dengan hamparan batu sepanjang mata memandang, di antara itu terselip tanaman tundra. Menurut Erasto , banteng Kilimanjaro sering melintasi areal ini, jejak yang beberapa jam lalu ini terlihat sambil menunjuk jejak banteng.
Puncak Kilimanjaro yang bersalju terlihat jelas sepanjang perjalanan begitu juga puncak Mawenzi salah satu puncak dari GunungKilimanjaro, dua-duanya menarik.
Kami melakukan perjalanan untuk menuju School Hut Camp butuh waktu 4 jam sampai disana. Oksigen yang mulai menipis membuat perjalanan begitu lama, dua jam kami berjalan  terasa begitu beratnya. Kira-kira 1 km kami telah melihat school hut Camp, tapi menuju kesana begitu berat, berat bernafas dan berat dalam melangkah. berry ketua tim mengatakan diudara yang tipis ini, kita harus menjaga langkah dan atur pernafasan. Kalau kuat 30 langkah berhenti satu menit.
Jam 14.00 kami sampai di school hut Camp dengan ketinggian 4706 m Dpal. Udara disini begitu dingin dan oksigen tipis, kami rencananya 2 malam disini untuk aklimatisasi pada ketinggian dan oksigen yang tipis . Harun menyuruh kami untuk istirahat dan tidur, disiang hari kami tidur untuk menyegarkan tubuh.
Jam 18.00 kami dibangunkan untuk makan malam, setelah itu Harun bertemu kami dan mengatakan jam 4 pagi semua harus bangun dan packing, kita mulai ke summit jam 5 pagi. Berry ketua tim terkejut karena sesuai kesepakatan pendakian kita harus aklimatisasi 2 malam disini. Harun menjawab di school hut sulit untuk mendapati air, kita tidak bisa dua malam disini. Berry dan anggota tim kesal tapi tidak bisa berbuat lain karena kami telah memberikan nyawa kami ke Tuhan dan Harun bersama teman-temannya.


Hari keempat 18 Juni 2014
Jam 4 pagi, kami dibangunkan, packing dan bersiap untuk ke summit. Di ketinggian 4706 dengan udara dingin yang mungkin minus serta oksigen tipis membuat setiap pergerakan ngos ngosan.
Jam 5 dengan pakaian summit dan head lamp kami memulai pendakian, kami melakukan perjalanan zig zag di antara celah bebatuan, mulai matahari belum muncul sampai matahari muncul kami berjalan perlahan , perlu waktu lebih dari 12 jam untuk sampai puncak uhuru peak 5885 m.
Perjalanan yang berat kami rute summit ini begitu terjal penuh pasir dan kerikil. Oksigen yang tipis membuat kami semua berjalan pole pole (pelan pelan). Hampir 6 berjalan kami berhenti untuk istirahat 20 menit, dengan ketinggian 5327 m yang berarti puncak hanya tinggal 500 meter lebih lagi.
Harun, James, Erasto memberi semangat kepada kami untuk sampai ke puncak, rasheed salah seorang porter dengan english yang kurang ikut memberi semangat.
Kami melanjutkan perjalanan dengan semangat Kepri mulai naik, jam 15.32 tim sampai ke Giliman peak 5681 m puncak kedua tertinggi di Gunung Kilimajaro.Tim beristirahat, Berry ketua tim hidungnya mulai berdarah dan yang lainnya mulai terkena HMS High Mountain Sickness, hampir 20 menit tim mengumpulkan tenaga.
Tim mulai berjalan di antara deretan salju kanan kiri , menurut sebagian peneliti salju abadi ini akan hilang 10 tahun lagi. Oksigen semakin tipis dan tenaga yang mulai turun membuat perjalanan yang hanya 200 meter terasa begitu berat. Snow blind membuat mata silam dan sakit. Tepat jam 17:21:02 atau 21:21:02 WIB tim sampai ke uhuru peak atau roof of africa puncak tertinggi di Afrika salah satu seven summit. Alhamdullilah dan sujud syukur dilakukan, tidak terbayang perjuangan berat beberapa hari ini.
Hanya 10 menit tim di uhuru peak ,semua harus cepat turun karena perjalanan berat untuk turun dan mulai ada badai angin rute turun.
Tim turun ke Kibo Camp , kami sering terjatuh pada saat akan turun dan jam 21 malam tiba di Kibo. Ngak sempat lagi dengan pakaian ganti, kami tidur dan mengigil dimalam dingin itu.

Hari kelima 19 Juni 2014
Jam 7 pagi feri, Aris dan fajar telah bangun, Kibo Camp dengan ketinggian 4706 m, kami melihat diatas tenda telah dipenuhi butiran salju, pantesan udara malam ini begitu dingin.
Jam 10 pagi memulai packing dan turun Gunung ke harombo Camp, penyakit HMS makin berat dan engkel kaki mulai bermasalah. Berry, Aris dan fajar terkena pneumonia , ferry dan fahry HMS akut.
Untungnya perjalanan ke Harombo Camp jalurnya enak dan turun, tim beberapa kali berpapasan dengan rombongan bule yang akan naikKilimanjaro.
Melihat kondisi tim, Harun sebagai guide kami memanggil rescue car untuk membawa tim turun ke Marangu point dan dilanjutkan ke kota Moshi malam itu juga.
Dari 7 hari direncanakan tim berhasil dalam 5 hari mendaki Gunung Kilimanjaro.


Moshi, Tanzania, 20 Juni 2014